Konsititusionalitas Tiga Priode Masa Jabatan Presiden ?
Penulis : Desmila Sari
Mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum Universitas Lampung
Wacana dan gagasan untuk penambahan masa jabatan Presiden selama tiga periode masa jabatan kembali mengemuka di ruang-ruang publik. Hal ini jelas merupakan langkah mundur dari semangat reformasi dan bertentangan konstitusi yang membatasi kekuasaan masa jabatan Presiden hanya dua periode masa jabatan.
Paham Konstitusionalisme di Indonesia
Indonesia sejatinya menganut paham konstitusionalisme sebagai aturan dasar bernegara untuk yang semua aspek kekuasaan dalam konteks membuat kebijakan atau peraturan yang harus berdasarkan pada hukum dalam hal ini adalah UUD 1945 sebagai konstitusi. Sehingga yang demikian itu setiap hak rakyat dijamin oleh konstitusi, juga tindakan pemerintah yang bertentangan dengan konstitusi jelas tidak dibenarkan.
Setelah 20 tahun lebih reformasi berjalan, nyata masih banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan oleh negara mulai dari aspek pemenuhan hak asasi manusia, pelaksanaan otonomi daerah, hingga pemberantasan korupsi. Justru kini banyak yang mewacanakan untuk jabatan Presiden Jokowi selama 3 periode kepemimpinan, terlebih hal tersebut digagas pada saat Indonesia sedang berjuang untuk mengatasi pandemi Covid-19, refresifitas aparat penegak hukum, hingga kelangkaan sembako (minyak goreng).
Terlebih lagi terkait masa jabatan Presiden sudah dibatasi oleh Pasal 7 UUD 1945 (setelah amandemen) yang pada pokoknya Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat dipilih untuk dua kali masa jabatan. Apabila hal demikian terjadi maka akan berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Presiden karena lamanya masa menjabat.
Selain itu juga, gagasan ini tentu saja bertentangan dengan konstitusi, sehingga banyak yang mewacanakan untuk dilakukan amandemen UUD 1945 agar dapat melanggengkan kekuasaan masa jabatan Presiden. Walaupun sebenarnya hal itu sudah menjadi kajian terdahulu untuk mengamandemen kembali UUD 1945, namun bukan untuk menambah masa jabatan Presiden akan tetapi mengevaluasi kembali kewenangan dan fungsi lembaga negara yang kinerja tidak terlalu terlihat seperti contohnya adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Amandemen UUD 1945 dapat saja terjadi untuk mengubah ketentuan masa jabatan Presiden bila konsensus-konsesus politik yang terjadi di MPR RI untuk mengubahnya.
Wacana Amandemen UUD 1945 Untuk Mengubah Masa Jabatan Presiden
Wacana untuk melanggengkan kekuasaan tersebut mulai bergulir sejak tahun 2019 dan mulai menyeruak kembali di tahun 2021 hingga dengan saat ini di awal tahun 2022 yang menarasikan Presiden Jokowi agar dapat menjabat kembali untuk periode selanjutnya, hal ini menimbulkan pro dan kontra di ruang-ruang publik. Bagi mereka yang menginkan Presiden menjabat kembali dengan alasan agar dapat melanjutkan pembangunan dan program pemerintah yang sudah ada sebelumnya, sedangkan banyak juga yang tidak sependapat dengan gagasan itu karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan semangat reformasi, dan Presiden Jokowi pun merespon bahwa tidak ada niatan untuk melanggar konstitusi.
Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sendiri memang secara atributif diatur langsung oleh UUD 1945 baik sebelum amandemen maupun setelah amandemen. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang berjudul Penguatan Sistem Pemerintahan Dan Peradilan (2015:61) menyatakan bahwa jabatan Presiden berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen yang pada pokoknya kewenangan dan kekuasaan yang dipegang sangat kuat (heavy) dan hampir tak terbatas karena normanya sangat umum dan abstrak yang ditafsirkan beragam. Selain itu juga terjadinya kekosongan hukum (vacum of wet) dalam batasan masa jabatan Presiden sehingga dengan demikian dimanfaatkan olah Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto guna melanggengkan kekuasaannya. Berikut perbandingan pengaturan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945:
Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden menurut UUD 1945
UUD 1945 Sebelum Amandemen
UUD 1945 Sesudah Amandemen
Pasal 7:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.
Pasal 7:
“Presiden dan Wakil Presesiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”
Norma dalam pasal tersebut berdasarkan penafsiran secara gramatikal tidak ada pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden setelah 5 lima tahun menjabat, dan kemudian dapat dipilih kembali. Norma ini yang bersifat sumir
dan membuat Presiden Soeharto dapat melenggang jauh selama 32 tahun
Perubahan ini sebagai respon masyarakat sipil dan tuntutan reformasi agar tidak terjadi lagi kekuasaan yang berlebih, selain itu juga untuk membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya 2 kali masa jabatan baik berturut-turut ataupun tidak berturut-turut.
berkuasa sebagai Presiden.
Langkah Mundur Dalam Bernegara
Menurut penulis tidak ada urgensi ataupun alasan yang jelas untuk melakukan amandemen kembali UUD 1945 terkait masa jabatan Presiden pada saat ini, karena hal tersebut merupakan langkah mundur dalam dalam bernegara dan proses demokratisasi serta jelas menghianati amanat reformasi. Terkait amandemen UUD 1945 dapat saja dilakukan apabila ada urgensi dan tuntutan dari rakyat itu sendiri, karena untuk menghasilkan konstitusi yang ideal haruslah dilihat hasil dari penyesuaian dan penyempurnaan untuk mengikuti segala perkembangan, khususnya yang berkaitan dengan hati nurani rakyat.
Karena hal ini berkelindan dengan erat pada unsur politik, sehingga terbuka kemungkinan ketentuan ini untuk “dipolitisasi” oleh oknum politisi dan apabila ini terjadi, maka semangat filosofis untuk membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil presiden dalam konstitusi akan menjadi hal yang sia-sia. Lebih jauh lagi jika kita melihat dari sudut pandang sistem pemerintahan, proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan arah politik hukumnya, hal itu dapat bertalian erat untuk membuat skema perubahan UUD 1945 terkait masa jabatan Presiden.
Walaupun tidak secara eksplisit termaktub dalam UUD 1945, ciri pemerintahan kita menganut sistem Presidensial dengan menerapkan sistem multi partai sehingga dengan demikian tidak ada satupun partai politik yang dominan. Akibat adanya multi partai tersebut kemudian lazimnya dilakukannya koalisi partai, yang kemudian koalisi tersebut dilanjutkan dalam lembaga perwakilan (DPR RI) guna mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden untuk melawati ambang batas (treshold) maupun untuk menentukan arah politik hukum dari penyelenggaraan negara.
Maka apabila koalisi yang ada DPR RI sangat kuat dan dominan yang merupakan berasal dari partai pengusung Presiden dan Wakil Presiden, bukan tidak mungkin kedepannya untuk dilakukannya amandemen UUD 1945 oleh MPR RI (berisi anggota DPR RI dan DPD RI) untuk mengubah pembatasan masa jabatan Presiden, hal tersebut dengan mudah dilakukan karena semuanya sudah dikonsolidasikan. Jika sudah begitu dalam prakteknya, tidak akan ada lagi mekanisme cheks and balances yang dilakukan oleh DPR RI yang mempunyai fungsi pengawasan terhadap tata laksana dan kinerja dari lembaga eksekutif yang dalam hal ini adalah Presiden, terlebih lagi apakah dalam masa jabatan sebelumnya pelaksanaan dan program kerja yang dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan dan menyejahterakan rakyat.
Sehingga dengan demikian menurut penulis gagasan dan wacana untuk merubah UUD 1945 dalam hal masa jabatan Presiden yang dapat dipilih kembali setelah dua kali menjabat jelas kontraporudktif dan bertentangan dengan semangat dari nafas konstitusi guna adanya pembatasan kekuasaan serta regenerasi kepemimpinan, apabila ini terjadi jelas akan berdampak tidak pada proses regenerasi kepemimpinan di Indonesia, bahkan akan terjadi
kembali potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sebagaimana yang diungkapkan oleh Lord Acton “power tends to corrupt and the absolutely powers tend to corrupt absolutely”.
Posting Komentar