Kasus Pembuangan Bayi Di Respon Tegas Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Lamtim Rini Mulyati
Lampung Timur.(Targetwarta) - Kasus pembuangan bayi yang saat ini sedang Viral ternyata direspon tegas oleh Rini Mulyati Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Lampung Timur, Dia didampingi Sekretaris LPAI Lampung Timur Arip Setiawan menyatakan meminta aparat kepolisian mengusut tuntas Orang Tua mana yang rela membuang anaknya tersebut.
Diakuinya secara pribadi ia & Lembaga sangat mengecam perbuatan kejam dilakukan orang tua bayi tersebut yang rela membuang anaknya sendiri di tempat Umum pada hari Senin Malam (05/04/2021) tepatnya dibelakang rumah warga RT 02 Dusun 4 Desa Nabang Baru Kecamatan Marga tiga Lampung Timur.
Kami dari LPAI Lampung Timur, akan terus mendorong pihak kepolisian bersama Pemerintah setempat dalam hal ini Dinas Sosial & Dinas PPPA Kabupaten Lampung Timur untuk mencari siapa pelakunya,”tegasnya saat di komfirmasi wartawan di ruang kerjanya Selasa,(6/4/2021)
Dilanjutkan Rini, untuk dalam kasus seperti ini pemerintah memiliki wewenang memelihara warga / anak yang terlantar atau ditelantarkan. Dengan demikian Rini menyatakan bayi laki-laki tersebut sekarang harus menjadi tanggung jawab pemerintah dalam perawatan & pengawasannya sampai menunggu proses Penyelidikannya.
“Bayi itu sekarang dilindungi pemerintah, kan Pemerintah mempunyai dinas sosial memang mempunyai kewenangan mengawasi masyarakat yang terlantar tidak punya tempat tinggal apalagi anak yang diterlantarkan oleh orang tuanya, Tentunya bayi itu harus dirawat oleh pemerintah,”tuturnya.
Selain itu dengan kejadian ini Ketua LPAI Lampung Timur ini juga menegaskan sekaligus menghimbau, kepada generasi muda & Anak di Lampung Timur harus mendapatkan pendidikan agar hal itu tidak lagi terjadi.
“Pergaulan bebas itu harus ada batasannya! Generasi muda, remaja & anak Lampung Timur harus diberikan pendidikan,”tuturnya
Menurut Kak Rini nama sapaan Ketua LPAI Lampung Timur ini, kemungkinan besar juga pelaku adalah pasangan muda yang masih labil dalam menjalankan kehidupan rumah tangga atau hasil perbuatan yang terlarang karena takut diketahui masyarakat banyak.
Selain Pembinaan terhadap Anak, LPAI juga akan diberikan kepada pasangan muda. Memasuki usia cukup dewasa ketika mereka ke jenjang pernikahan mereka harus diberikan bekal juga. Mereka harus tau apa yang akan dihadapi ketika menikah agar tidak lagi terjadi perbuatan tidak baik ini,”paparnya.
Kembali ke kasus pembuangan Anak ini, menurut Rini, kedua orang tua dari Bayi tersebut bisa terancam 12 Tahun Penjara, sesuai dengan Pasal 308 KUHP dan atau pasal 77 b, Jo Pasal 76 b, Undang - Undang Nomor 23 tahun 2002 dimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang saat sudah berubah kembali menjadi Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 2016 yang telah diubah kebali menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Saat ditanyakan wartawan bagaimana tentang Penelantaran & Pengasuhannya, Ketua LPAI Lampung Timur ini Menjelaskan, Anak adalah potensi dan generasi muda penerus cita-cita bangsa. Ia memiliki peran strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Untuk itu diperlukan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Membicarakan anak terlantar membawa kita pada definisi Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang bahwasanya yang dimaksud dengan anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
Untuk Jaminan Kesehatan, Hak Setiap Anak Tanpa Diskriminasi, setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang secara optimal, termasuk di dalamnya untuk memperoleh pelayanan kesehatan secara layak sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya. Hal ini dijamin dalam Pasal 8 UU Perlindungan Anak maupun Pasal 62 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU 39/1999”), baik bagi anak yang memiliki keluarga maupun anak terlantar tanpa keluarga, semuanya memiliki hak yang sama dan tidak dapat dirampas darinya.
Selaras dengan itu, pemerintah pun wajib menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak. Namun di mata hukum, seorang anak dianggap belum cakap melakukan perbuatan hukum seperti untuk membuat persyaratan administrasi yang diperlukan atau mengambil keputusan jaminan kesehatan apa yang ia butuhkan. Oleh karena itu, untuk mengakses manfaat dari penyelenggaraan jaminan kesehatan yang telah disediakan pemerintah, anak perlu berada dalam pengasuhan.
Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Sosial Nomor 21 Tahun 2013 tentang Pengasuhan Anak (“Permensos 21/2013”) menjelaskan bahwa pengasuhan anak adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang, kelekatan, keselamatan, dan kesejahteraan yang menetap dan berkelanjutan demi kepentingan terbaik anak, yang dilaksanakan baik oleh orang tua atau keluarga sampai derajat ketiga maupun orang tua asuh, orang tua angkat, wali serta pengasuhan berbasis residensial sebagai alternatif terakhir.
Hal yang senada juga diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU 35/2014 dimana pemeliharaan, perawatan, dan rehabilitasi sosial anak terlantar wajib diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik dalam lembaga (melalui sistem panti pemerintah dan panti swasta) maupun di luar lembaga (sistem asuhan keluarga/perseorangan).
Dalam Tahap Memperoleh Pengasuhan, Rini mengasumsikan bahwa anak terlantar tanpa identitas dan keluarga yang dimaksud tidak memiliki tempat tinggal tetap serta tidak memiliki keluarga yang dapat dihubungi atau dituju. Apabila anak didapati di jalanan tanpa memiliki keluarga yang dapat dihubungi atau dituju seperti Kasus bayi yang buang ini, petugas yang berwenang akan membawanya ke panti sosial sementara dimana akan dilakukan pendataan dan asesmen terhadap anak. Lalu anak diberi pembinaan baik fisik, spiritual dan sosial selama kurang lebih 1 bulan. Setelah waktu tersebut, anak akan diserahkan kepada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) sampai diperolehnya pengasuhan berbasis keluarga yang permanen (orang tua asuh, wali, atau orang tua angkat).
Selain itu, Pasal 57 UU Perlindungan Anak juga memberikan kemungkinan bagi lembaga yang menyelenggarakan pemeliharaan anak terlantar atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar. Penetapan pengadilan tersebut nantinya sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak terlantar yang bersangkutan.
Maka berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa untuk dapat mengakses jaminan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah, anak terlantar harus terlebih dahulu berada dalam pengasuhan, baik berbasis keluarga maupun berbasis residensial. Setelah berada dalam pengasuhan, anak tersebut dapat mengakses jaminan kesehatan sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan terkait jaminan sosial nasional yang berlaku bagi semua masyarakat, " Ungkap Rini.(Tim)
Posting Komentar